9.22.2010

Menggugat persatuan, Melangkah bersama

Menyambut hari tani nasional yang jatuh pada tanggal 24 September 2010


Soeharto akhirnya lengser, euphoria kemenangan merebak dimana-mana, tumbang sudah kekuasaan yang telah menanamkan kuku kekuasaannya selama lebih dari tigapuluh tahun. Namun apa lacur, krisis hebat yang melanda negeri ini baik secara politik maupun ekonomi tidak membawa perubahan apa-apa. Keruntuhan pemerintahan otoriter di tahun 1998 hanya berbuah manis bagi neoliberalisme.


Kudeta sistematis atas dasar teori penghapusan peran negara di bidang ekonomi dan perdagangan memaksanya menjatuhkan apa yang telah mereka bangun sendiri. Orde baru dinilai terlalu monopolistik, birokrat korupnya dianggap mengganggu kebebasan pasar dan sudah waktunya dilenyapkan. Reformasi menjadi era penuh kekerasan dalam usaha mendekatkan kapital dengan daerah jajahan. Melalui IMF dan World Bank, utang yang ditinggalkan Suharto yang digunakan untuk pembangunan ditagih. Layaknya seorang rentenir, jerat utang adalah senjata andalan neoliberal untuk menguasai dunia ketiga. Bisa ditebak, pemerintahan yang sedang kolaps tidak mungkin membayar, hal yang telah mereka perhitungkan dan rencanakan sebelumnya. Maka dipaksakanlah sejumlah penyesuaian aturan struktural, perubahan undang-undang, aturan hukum, dsb untuk melindungi kepentingan pengusaha dengan gol utama: memperlancar arus perdagangan.


Selamat datang kapitalisme lanjut, pasar bebas, demokrasi sampai jual beli hasrat. Sebuah dunia yang didasarkan pada eksploitasi kekuatan kerja manusia, uang, produksi komoditi dan perdagangan.


Diantara perubahan aturan tersebut, seperti pencabutan subsidi bagi seluruh jaringan sosial yang ada, termasuk pendidikan, kesehatan, bbm, listrik, perlahan-lahan didesuaikan demi kepentingan pemodal. Segala aturan yang mengekang perkembangan koorporasi dihapuskan, termasuk memperbaharuai aturan perburuhan sampai kita mengenal tenaga kerja kontrak dan out sourching. Dan tentu saja aturan-aturan di bidang pertanian.

Sampai saat ini peranan pertanian memang belum dapat tergantikan, walaupun revolusi industri telah berhasil mengubah sebagian besar lahan-lahan pertanian menjadi bangunan pabrik, jalan raya dan jembatan. Agrikultur yang menjadi rahim kelahiran kapitalisme masih sangat penting bahkan bagi kapitalisme tingkat lanjut. Seperti tidak mengenal Pergantian pemerintahan, sanjungan dan pujian senatiasa mengalir kepada bidang yang satu ini. Baik itu berasal dari pemerintahan otoritarian birokratik, populis, demokratik sampai yang tradisional. Tentu saja dengan tokoh utama: petani. Pada zaman kolonial, Indonesia terkenal dengan tanah yang luas dan subur dengan berbagai jenis tanaman, orang-orang eropa menarik simpati dengan menjuluki nusantara sebagai ‘surga rempah-rempah’. Pemerintahan sukarno dengan demokrasi terpimpinnya tidak mengabaikan begitu saja peranan petani baik dari segi politik maupun ekonomi. Disanjunglah petani sebagai salah satu ‘tulang punggung revolusi’. Orde baru mencitrakan suharto berasal dari keluarga petani, Indonesia diubahnya menjadi Negara agraris. Dan tentu saja petani sanjung setinggi langit sebagai motor ‘swasembada pangan’.

Cukupkah semua itu menggambarkan realitas yang ada? Tanpa statistik dan data-data tertulis ala LSM, cukup dengan memicingkan mata kita bias tahu semua itu mengada-ada. Petani tak bertanah tetap tidak bias lepas dari jerat tengkulak dan tradisi feudal, industrialisasi telah memaksa anak cucu mereka bergerak ke kota, dan sekali lagi mereka tidak beranjak dari garis miris!

Lepas dari rezim despotik yang merampas tanah secara sewenang-wenang kini petani dihadapkan pada serangan koorporasi yang ternyata lebih kejam. Atas nama stabilitas ekonomi dan peningkatan produksi, lahan-lahan pertanian yang pernah dikuasai pemerintahan sebelumnya tidak dikembalikan. Berulang kali kekerasan fisik, teror dan intimidasi kembali mereka alami. Beberapa kisah berhasil terdokumentasi diantara ratusan bahkan ribuan kasus lainnya. Dari deli serdang sumatera utara, kulon progo, sampai di kawasan timur Indonesia, Takalar-Sulawesi selatan. Mereka yang tidak kunjung berhenti menorehkan kisah perjuangan di tengah usaha merengkuh makna hidup itu sendiri.

Seperti luapan Lumpur Lapindo, tekanan neoliberalisme melalui kaki tangan otoritas tidak akan mampu membendung semangat para petani. Letupan-letupan akan senantiasa mencari celah untuk dilaluinya. Bukan tidak terprediksi sebelumnya, Indonesia mengenal perjuangan petani bahkan sebelum dimulainya pencarian daerah jajahan oleh bangsa eropa. Para petani tak bertanah bergulat dengan tuan tanah feodal. Ideologisasi memaksa mereka masuk kedalam serikat-serikat tani dan partai yang mengkampanyekan pengambil alihan paksa tanah tak bertuan untuk kemudian direbut kembali ketika berkuasa. Pada perjalanannya, pemerintah hanya mengizinkan petani hanya memasuki satu organisasi tani nasional yang kemudian disusul dengan berbagai program pertanian, salah satunya revolusi hijau. Perlawanan-perlawanan menemui jalan buntu, terjebak di dalam perjuangan masyarakat normal.

Namun tak seorangpun analiser pernah membayangkan memuncaknya level perjuangan petani justru berbarengan dengan terus berlanjutnya krisis kapitalisme. Meskipun belum sepenuhnya berkesadaran untuk meruntuhkan keseluruhan tatanan masyarakat yang eksis saat ini, sayup-sayup terdengar perlawanan mereka mulai beresonansi dengan irama dasyat penolakan penggusuran, pemogokan liar para buruh, serta guncangan hebat di salah satu pusat kapital, Yunani. Hal yang nyaris luput dari mata para pakar ‘revolusi’, kemunculan kultur insurgen setelah kehilangan tempat dalam masyarakat spectackle, energi yang begitu menantang, kreatif dan imajinatif. Bahkan mungkin sangat aneh bagi para professional kaum intelektual yang berusaha menempatkan kapitalisme secara lebih objektif. Gerakan mereka telah membuat retakan di panggung masyarakat tontonan yang selalu mendaur ulang perjuangan setelah sebelumnya menghancurkan konten di dalamanya.

Kekalahan demi kekalahan petani dimasa lalu telah memberikan beban berat bagi mereka yang masih meyakini perjuangan tetap berlanjut, membayangi seperti mimpi buruk. Kekerasan fisikal, moderasi LSM, taktik pecah belah dengan uang ganti rugi, kompromi dan perundingan, pembusukan oleh media, sampai krisis dari dalam diri mereka sendiri. Tapi tidak ada kata sia-sia dalam setiap usaha untuk meruntuhkan sistem yang berbasis pada alienasi dan pengkomodifikasian hasrat ini. Mereka belajar sekaligus mengajarkan bagaimana bangun dari keterpurukan. Bahu membahu mengorganisasikan komunitasnya secara independent dan otonom, mengambil keputusan bersama tanpa struktur yang mengikat, mempublikasikan secara nyata informasi perjuangan mereka, mempopulerkan aksi langsung, serta membangun solidaritas murni yang merupakan sebuah titik dimana setiap perjuangan melawan kapital dapat bertemu. Setidaknya jalan yang mereka tempuh telah membuka berbagai kemungkinan untuk dieksperimentasikan: bukan bersatu, tapi bersama!

Makassar-Sabtu, 18 september 2010


Selamat Hari Tani.

Panjang umur perjuangan antiotoritarian.

Panjang umur petani berlawan!!!

7.30.2010

Review Pertemuan Kelas Sehari Kapitalisme di Lembanna oleh Lingkar Study Anti Otoritarian Makassar



oleh: Pricilia Sihombing (salah satu partisipan Lingkar Study Anti Otoritarian Makassar)


Pertemuan akhir pembahasan kapitalisme lanjut kali ini berbeda dengan beberapa pertemuan Lingkar study dihari-hari sebelumnya. Partisipan Lingkar Study Anti Otoritarian sepakat membahas materi selanjutnya di daerah yang lebih terbuka, melihat kejenuhan dari beberapa partisipan akhir-akhir ini, dan yang lebih penting adalah untuk kembali mendekatkan kami secara emosional karena bukankah revolusi pun bisa terjadi dari hal-hal yang personal?.

Pertemuan terakhir pembahasan kapitalisme lanjut kali ini diadakan di bawah kaki gunung Bawakaraeng-Malino, beberapa kilometer perjalanan dari kota Makassar, kira-kira dua jam perjalanan jika kami naik angkutan umum. namun kami sepakat berangkat kesana dengan berhitch hike atau menumpang, bukan karena kami tak memiliki cukup uang untuk ongkos perjalanan, atau kami ingin merasakan hal yang baru untuk sekedar mencari sensasi yang beda, tapi kami ingin membuktikan kepada beberapa orang bahwa uang bukan segala-galanya, kita bisa menikmati gunung, daratan, sinar mentari sebelum tenggelam (yang ini kami sangat menikmatinya), senyuman bahkan menikmati duduk berlama-lama dengan teman-teman itu bisa tanpa perlu harus mengeluarkan uang yang berlebih, yah bukankah para pemilik modal menjadikan hari-hari kita tak lebih dari sebuah komoditi yang laku dipasaran, mereka mencurinya, menjualnya dan kita harus bersusah payah mencurinya kembali. kami berhasil melampau itu dalam beberapa hari di Lembanna. Dan relasi kami adalah relasi yang dilandasi oleh cinta, bukan relasi uang.

Hitch hike ke Lembanna tidak terlalu sulit, ada banyak angkutan umum dan pribadi yang bisa kami berhentikan. yang lebih menyenangkan, kami tak sendiri.. selain beberapa partisipan Lingkar Study Anti Otoritarian (beberapa tak bisa hadir dengan alasan masing-masing), ada beberapa kawan yang bisa ikut serta yaitu Tim Kontinum, kawan dari Polandia, Inggris dan Mamuju. kawan-kawan yang dari tiga daerah terakhir sedang dalam perjalanan hitch hike ketujuan masing-masing, kebetulan rute mereka melewati Makassar dan bisa sekalian ikut serta, sedangkan Tim Kontinum juga memiliki agenda sendir yang akan dibawah kesana nantinya.

Setelah lebih dari beberapa jam, kami pun tiba di kota Malino, dan harus berjalan kaki lagi kearah kaki gunung Bawakaraeng. Di sana kami mulai membangun tenda dan bersiap siap untuk pertemuan pertama agenda awal kami. namun saya tak bisa bercerita lebih tentang pertemuan awal ini karena agenda pertama adalah pertemuan parakita Kontinum, dan saya tak relevan untuk menguraikannya. untuk hari pertama saat itu Lingkar Study Anti Otoritarian pun menjadi partisipan dalam diskusi tertutup parakita kontinum.

Lingkar Study memulai pertemuan pembahasan kapitalisme lanjutnya pada hari kedua tanggal 13 juli 2010 sekitar pukul sebelas siang, molor sejam dari rencana awal. partisipan yang ikut dalam pembahasan terakhir mengenai kapitalisme lanjut ini adalah Alisa Dita, Budha Gautama, Johan Sitorus, Mahesa Jenar dan Pricillia Sihombing. perlengkapan untuk diskusi saat itu adalah kertas plano, spidol, buku catatan dan beberapa bahan referensi masing-masing. cuaca sangat cerah waktu itu.

Diskusi saat itu adalah kelanjutan dari diskusi-diskusi kelas di Lingkar Study sebelumnya. pada pertemuan sebelumnya, sekitar sebulan yang lalu sebelum keberangkatan delegasi lingkar study ke Pekan Anti Otoritarian di Sibolangit, kami sudah membahas point-point utama yang akan menjadi pembahasan kami kali ini. kami membedakannya dalam 2 sub tema dari tema utama yaitu Kapitalisme lanjut, kedua Sub tema itu adalah analisa kapitalisme dari segi ekonomi dan politik, kemudian dari analisa Non ekonomi politknya. Pada rencana awal kami menyepakati bahwa pertemuan untuk pembahasan Kapitalisme lanjut sesi terakhir ini akan dibuat seperti workshop sehari, pertemuan pada waktu itu membahas materi-materi apa saja yang akan dikupas termasuk dua sub tema diatas, dan siapa-siapa saja yang akan membawakan materi masing-masing yang sudah ditetapkan. Ada beberapa metode yang sudah kami rumuskan sebelumnya dalam pembahasan Kapitalisme lanjut, yaitu diskusi dengan memakai fasilitator, pemahaman lanjut dengan simulasi dari masing-masing kelompok dan akan diselingi dengan game-game yang menarik tentang beberapa tema-tema tertentu. Selanjutnya dapat kami uraikan dalam bentuk bagan berikut ini :

No.

Alur

Output

Metode

Bahan referensi

Waktu

Fasilitator

1.

Mendefinisikan kapitalisme berdasarkan cirri pokok: kerja, komoditi, kepemilikan pribadi

- membedakan cirri pokok kapitalisme dengan non kapitalisme

- mengetahui apa itu kapitalisme

- diskusi dengan materi masing-masing

- Permainan Perebutan Tanah, Simulasi Prinsip Merger dan Akuisisi

- games: perebutan tanah

-kerja: das capital: bab VI hal 166-175, 176-190

Komoditi: das capital: bab I hal 3-9

Kepemilikan pribadi: manuskripII ekonomi filsafat: hal 145-157

manuskripIII: hal 157 & 163

- s imon tormey: hal 5-11

11-12.00

13-14.00

14-15.00

istirahat

Simulasi-games: brad fuh

Diskusi: Haristo

Ruras

2.

Perkembangan kapitalisme:

- kerja

- komoditi

- kepemilikan pribadi

- analisa non ekonomi, politik kapitalisme

· waktu luang

· pabrik social

· panoptikon

· skizoanalisis

· modal-modal sosial

- mengetahui perubahan corak kapitalisme dari awal hingga lanjut

- latar belakang perubahan kapitalisme

- bagaimana cara system kapitalisme melanggengkan dirinya

- mebedah kapitalisme lanju bekerja diluar aspek ekonomi dan politik

- diskusi:

· materi, artikel

· jurnal kontinum

· menolak globalisasi

· the post corporate world

- diskusi, simulasi & nonton pilem:

· jurnal kontinum

· marxis otonomis

· pskioanalisis

· Panoptiokon,

· situasionist

· psiko geografi

· the society of spectacle

SIMULASI PABRIK SOSIAL..

- kerja: jurnal kontinum, artikel Marxist otonomis, manuskripIII hal 185-213, artikel fordisme softfile, hak untuk malas, penghapusan dunia kerja bobblack softfile. membongkar akar krisis global hal 167-191.

- komoditi: membongkar akar globalisasi hal 167-201, the society of spectacle hal 25-35, menolak globalisasi.

- kepemilikan pribadi: the post corporate hal akuisis 45-51 merger 49-51, jurnal kontinum Nasionalisasi harapan atau ilusi, anti kapitalisme hal 21-23, feodalisme to capitalism karl marx softfile

Analisa non ekopol:

· waktu luang: situasionist international hal 74-75, hak untuk malas,

· pabrik social: jurnal kontinumII, Marxist otonomis softfile

· panoptikon: kota panoptikon sf, panoptikon, sf, buku disipli n punished bab1

· skizoanalisis hal 81-104

· modal-modal sosial: artikel to concept social capital sf,

·

90 menit

3 jam

Gautama,

Upi

diskusi: Johan & Odite

simulasi: Fuh & Alisa..








Bagan diatas adalah rencana awal agenda kelas Lingkar Study Anti Otoritarian untuk pembahasan Kapitalisme lanjut dalam kelas sehari. tapi ada beberapa perubahan kecil. kelas yang akan diadakan dalam bentuk workshop diubah menjadi kelas diskusi materi masing-masing.

Kami mulai dengan penguraian tentang kerja, komoditi dan kepemilikan pribad. kami tidak terlalu berkutat pada tiga point ini karena pada pertemuan sebelumnya kami sudah habis mengupasnya. kami langsung masuk pada sub tema kedua, yaitu pembahasan perkembangan kapitalisme.

Seperti yang kita ketahui bersama, kapitalisme sebagai paham ekonomi perkembangannya semakin mutakhir, dia mampu berevolusi dengan sangat cepat. Neoliberalisme yang saat ini dibeberapa negara sudah memakainya sebagai paham ekonomi adalah perpanjangan tangan dari kapitalisme, paham ini meniadakan pembatas dalam persaingan para pemilik modal dalam mekanisme pasar bebas. Menurut beberapa pihak Neoliberalisme adalah paham ekonomi politik yang mengacu pada berbagai kebijakan dan proses di mana segelintir kepentingan swasta diperbolehkan mengontrol sebesar mungkin kehidupan sosial agar dapat memaksimalkan keuntungan pribadi mereka, ini menjelaskan bahwa kontrol negara dibawah paham ini semakin disusutkan karena mengingat negara masih bersifat biriokratis.

Dibawah paham ini setiap orang berhak mengakumulasi keuntungannya masing-masing, ini akan mengakibatkan persaingan modal yang tak terbatas dan kemudian akan memunculkan ketimpangan sosial ekonomi karena sebagian orang akan lebih banyak menguasai barang dan jasa dibanding yang lain. Paham ini juga secara tidak langsung membuat kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dikuasai oleh pemilik modal atau yang mempunyai kekuatan financial bukan dimiliki oleh semua. Tidak hanya itu, Gautama salah satu partisipan Lingkar Study Anti Otoritarian berpendapat bahwa kapitalisme ataupun neoliberalisme menjadikan kita tak lebih dari sekedar buruh, kita semua adalah buruh.

Mentari semakin terik, sungguh menghangatkan didaerah dingin ini. Diskusi kami pun berlanjut dengan suguhan kopi hangat dari Alisa. kali ini Alisa yang juga sebagai partisipan Lingkar Study Anti Otoritarian menjelaskan relasi kapitalisme, krisis global dan politik karbon. seperti yang diuraikan dalam tulisan salah satu teman di web Kontinum “katakan dengan karbon” bahwa “Sebagai bentuk molekul CO2 karbon memiliki fungsi penting dalam perubahan iklim dewasa ini. Dari sebuah senyawa berbahaya bagi atmosfer, karbon kini dijadikan instrumen yang bernilai ekonomi. Dengan karbon, dalih penyelamatan digunakan negara dan korporasi dalam memanipulasi persoalan iklim. Hal ini tak lepas dari perjalanan panjang pertemuan demi pertemuan tingkat dunia, hingga melahirkan skenario global yang dielu-elukan sebagai solusi penyelamatan bumi.”.

Bagaimana kapital bisa meningkatkan profitnya dengan beberapa cara, salah satunya adalah politik karbon. Emisi gas sebelum revolusi industri hanya berkisar 580 ribu ton dan sekarang telah mencapai lebih dari 750 ribu ton. Pertemuan antar negara pun mulai diadakan dan akn sering diadakan untuk membahas antisipasi terhadap peningkatan emisi gas, kampanye awalnya adalah menekan Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gasnya, namun pada akhirnya yang sering terjadi dengan forum iklim global seperti biasanya adalah menghasilkan kebijakan-kebijakan yang selalu menguntungkan pemilik modal. Emisi karbon yang tadinya ingin dikurangi dengan merundingkan aturan-aturan untuk negara-negara industri menjadikan emisi karbon sebagai komoditi baru yang menggiurkan.

Politik karbon hanya cara baru yang digunakan para kapital untuk menutupi kewajiban mereka dalam pengurangan emisi karbon dari aktivitas industri mereka, dan disini kita bisa melihat peran negara dalam perputaran modal global. Negara industri dapat tetap menjalankan aktivitasnya tanpa harus mengurangi emisi karbon bahkan mendapat jatah karbon bagi industri mereka, dengan cara menanami atau memelihara hutan yang rusak di negara-negara berkembang. Negara berkembang ini lah yang menjadi penyerap emisi bagi kegiatan industri di negara maju, mereka kemudian diberi kompensasi bagi pemeliharaan hutan tersebut.

Kapitalisme memang sungguh menyebalkan dan sangat lihai, brengsek pula. Sangat disayangkan memang ketika hutan pinus disekitar tenda kami hanya dijadikan komoditi tok oleh para pemilik modal sana. Peningkatan emisi karbon maupun global warming kedengaran seperti mitos buatku saat ini, tak lebih dari wacana manipulasi dari sistem kapitalisme, menyebalkan.

Menjelang sore, lembanna, kaki gunung Bawakaraeng menjadi sedikit dingin, kami buru-buru memakai switer dan syal kami. Rehat sedikit, Alisa membuat mie seduh, Johan sedikit berdendang melepas jenuh habis berdiskusi. Mahesa jenar merenung dengan jidat yang mengkerut, mungkin dia tak habis pikir mengapa beberapa diantara kita mempunyai lebih dibanding yang lain, dan dengan alasan itu mereka bahkan merasa berhak menguasai yang lain. Gautama tak berhentinya bercerita tentang apapun yang menurutnya ganjal mengenai hidup keseharian dia dan kami. Saya hanya mencatatnya semuanya, dan bila kelak momen ini terlupa, akan kuingatkan lagi melalui tulisanku bahwa ada beberapa anak muda yang masih risau terhadap beberapa hal, mempertanyakannya dan tak berhenti berlawan untuk hidup kesehariannya.

Yah, kapitalisme tidak hanya masuk pada masalah ekonomi politik lagi, dia memasuki wilayah yang lebih luas, sosial, budaya dan sekali lagi kehidupan keseharian kita. Bagaimana kapitalisme bermain diruang hasrat manusia, kapitalisme terus memanfaatkan hasrat manusia untuk meningkatkan profit dan akumulasi keuntungan. Kapitalisme menyerap realitas dan mengkodekan realitas itu sendiri, dan kemudian menjualnya melalui hasrat.

Kami disaat itu menghela nafas panjang, bukan puas telah mengorek sedikit kebobrokan sistem kapitalisme, tapi betapa kita sebagian tak sadar bahwa hidup kita dikontrol. Kegiatan kita sehari-hari tak lepas dari penjualan imaji imaji iklan produk kapitalisme, teriakan revolusi dijalan pun tak bisa menghambat perputaran modal atau menghentikan mereka mengontrol kita, bahkan mereka mengakomodasi hasrat liar kita untuk kemudian menjadikannya komoditi yang siap jual. Oh my gosh, apa ini juga terlintas dibenak mereka barang sekilas?? aku yakin tidak sekalipun, atau iya namun mereka terjun bebas tanpa tumpu dan mengiranya sedang terbang bebas?? mari pertanyakan semuanya.

Lebih dari lima jam kami berdiskusi lepas saat itu dan waktunya istirahat. Tak ada lagi kerutan dijidat, kami sepakat tanpa jabat tangan untuk tetap berlawan terhadap kehidupan keseharian kami masing-masing dan terus mempertanyakan semuanya.

Dunia lain itu mungkin, bila..

Pricilia Sihombing.. ^^

6.01.2010

Cara Kerja dan Perkembangan Kontrol Kekuasaan

Bahan Diskusi yang Diajukan Burhan May Lee dalam diskusi GSAO












Setelah melalui diskusi panjang dan melelahkan tentang genealogi (semacam asal usul) kekuasaan, pertemuan ini kiranya lebih advance dengan membahas bagaimana kuasa dan kontrol mendominasi hidup keseharian manusia.

Secara umum menurutku kontrol dilakukan dengan menggunakan instistusi yang dibentuk Negara/Otoritas berdasarkan kebutuhannya untuk mempertahankan dan merawat dirinya sendiri.
Menurut Althusser, seorang Marxis-Strukturalis asal Perancis, institusi yang kumaksudkan di atas adalah RSA (Repressive State Apparatus/aparat represif negara) dan ISA (Ideological State Apparatus/aparat ideologis negara).

RSA bekerja di dalam lingkup yang bersifat fisik atau kekerasan (violence); berada di dalam sistem dan struktur kekuasaan negara, serta bersifat sentralistis dan sistematis. Sedangkan ISA bekerja dengan melakukan manipulasi terhadap kesadaran masyarakat, serta berada di dalam ataupun di luar lingkup kekuasaan negara. Teori Althusser mengenai RSA dan ISA ini memiliki kemiripan dengan teori Gramsci—seorang tokoh Partai Komunis Italia—mengenai kekuatan fisik (force) dan hegemoni sebagai alat kontrol sosial. Contoh daripada RSA ini misalnya adalah institusi polisi, pengadilan dan militer, sedangkan contoh daripada ISA ini misalnya adalah institusi pendidikan. ISA bekerja dengan apa yang dinamakan "ideologi." Althusser sendiri secara umum mengartikan ideologi sama seperti Marx, yaitu sebagai suatu bentuk "kesadaran palsu" (false consciousness). Ideologi adalah suatu bentuk representasi yang terdistorsi, yang terdapat di dalam kesadaran, mengenai suatu kenyataan obyektif.
Di dalam tulisannya yang berjudul Theoretical Practice and Theoretical Formation: Ideology and Ideological Struggle, Althusser mengatakan:

Ideological representations concern nature and society, the very world in which men live;…Yet these representation are not true knowledges of the world they represent….a total system of such representations, a system that is in principle, orientated and distorted, a system dominated by a false conception of the world or of the domain of objects under consideration.

Sangat mudah untuk megidentifikasi bagaimana RSA bekerja, sederhannya penjinakan dilakukan dengan mengandalkan trauma akibat tindak kekerasan fisik dan terror oleh militer dan termasuk pokis yang katanya ingin mensipilkan diri. BOHONG BESAR! Sebagai contoh bagaimana pertani di Polombangkeng Takalar berusaha dijinakkan dengan represi Brimob yang menggunakan senjata api dan menurut keterangan warga setempat sering kali melakukan terror di malam hari dengan merangsek masuk ke dalam rumah dan bertanya macam-macam.

Sementara ISA bekerja rapi di alam sadar dan terutama bawah sadar manusia. Jika althusser mengungkapkan ideology sebagai senjata, sakit kepala memikirkan kata itu. Kalo pemahanku seperti ini tentang ISA, gampang ji kayak ceritanya gilgamhes yang menakkulkkan singa buas seorang diri dipakai oleh banyak raja seperti Darius untuk seluruh daerah yang ditakklukan dengan memakai cerita itu untuk menampilkan citra kebesarannya yang kuat dan tak tertandingi. Ini dilakukan untuk mengukuhkan kekuasaannya dan meneror para pemberontak. Tapi ini bukan institusi, namun ini adalah alat berupa cerita bohong yang digunakan departemen penerangannya (kalo di jaman ordebaru). Sama seperti instutsi yang mengajarkan banyak kebohongan dan menyensor kebenaran kepada siswa di seluruh penjuru negeri. Anehnya di Negara ini, sekolah denga fondasi kebohongan juga dikomersilkan dan dimahalkan. Ada lagi instusi yang tidak kalah bohongnya. Institusi agama yang setiap hari memproduksi kebohongan dan menyebarkan mitos tak masuk akal tentang kewajiban menyembah Yahweh dan patuh terhadap pemimpin sialan yang sudah pasti tak mampu mengatur banyak pantat di negeri miskin ini. Contoh paling bodoh dari agam adalah peristiwa gallileo yang mendatkan hukuman mati dari otoritas gereja akibat teori penemuannya yang menyatakan bumi itu bulat. Dengan sangat arogan pihak gereja menolah teori yang diluar pandangan mainstream saat itu.

Menurutku (lagi) ketertindasan yang banyak didengungkan adalah ketidak adilan dalam hal ekonomi , namun alienasi akibat domestikasi/penjinakan yang dilakukan oleh kelompok penguasa yang setiap hari dilakukan tidak kalah menyengsarakan dan mematikan hasrat yang hanya dimiliki oleh makhluk hidup. Jika semuanya telah hilang, jadilah spesies yang paling sukses be’de di planet bumi ini tak lebih adalah robot-robot pelayan kekuasaan yang dengan setia mengantarkan bumi kedalam jurang kehancuran ekologis yang sudah tampak telanjang saat ini.

5.30.2010

WORKSHOP FASILITATOR UNTUK GRUP-GRUP AFFINITAS


merancang pertemuan dan pengambilan keputusan secara partisipatif dan egaliter
Makassar, 9 Mei 2010

Tujuan diadakannya workshop fasilitator adalah pengenalan cara untuk mendorong partisipasi dalam pertemuan, mengembangkan sebuah tipe konsensus yang lebih maju, yang muncul bukan karena terpaksa, dipimpin apalagi diatur. Diberikan pula simulasi untuk mempraktekkan secara langsung bagaimana mengelola sebuah pertemuan untuk memecahkan masalah yang ada pada sebuah kolektif.

Workshop yang berlangsung selama sehari penuh ini diharapakan dapat menjawab tantangan untuk mengadakan forum-forum bersama yang lebih menyenangkan sebagai jalan keluar dari pertemuan2 formal yang membosankan, cenderung statis serta berjalan satu arah. Selain itu sebagai tambahan skil-skil dasar dalam mengelola forum agar proses pengambilan keputusan dapat menjadi sebuah konsensus serta mewadahi keinginan setiap individu atau kelompok.

Antusiasme dan keceriaan tampak menghiasi wajah teman2 peserta workshop yang berjumlah 12 orang, setelah sebelumnya berhasil memberikan sentuhan keindahan pada ruangan yang akan akan dipakai. Kelas yang semula tampak kumuh kini telah bersih, meja dan kursi sudah tersusun rapi serta perangkat pertemuan telah terpasang pada tempatnya .

pukul 11:00 workshop dimulai dengan kesepakatan-kesepkatan bersama tentang jadwal dan agenda, diselingi introduksi untuk menyegarkan ingatan tentang tujuan utama diselenggarakannya kegiatan ini.

Fasilitasi adalah salah satu cara yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan, membantu sebuah atau beberapa kolektif untuk memecahkan masalah secara bersama. Jadi fasilitasi hanya alat, artinya pemecahan masalah bisa saja tanpa metode fasilitasi, dengan penunjukan langsung ataupun pertemuan satu arah yang telah ada sebelumnya. Fasilitasi memberikan apresiasi pada proses pencarian solusi sebuah kolektif agara dapat menjadi konsesus, meramu perbedaan-perbedaan pandangan agar jalan keluar yang dihasilkan dapat terealisasi dan mendapat dukungan dari seluruh elemen yang ada.

Fasilitator memiliki fungsi yang berbeda dengan moderator, ketika dalam pertemuan dipimpin oleh seorang moderator maka yang harus dia lakukan hanyalah mengatur lalu lintas pembicaraan, menyimpulkannya kemudian melemparkannya lagi ke peserta forum untuk didiskusikan. Lain halnya dengan fasilitator, adalah orang yang mampu memanage sebuah pertemuan untuk memudahkan dalam alur pembicaraan dan pengambilan keputusan. Bahwa fasilitator memberikan kesempatan berkembangnya pembicaraan sebagai proses dari pertemuan tersebut, bukan keputusan akhir yang dihasilkan. Artinya fasilitaor harus memahami betul “apa yang sedang dibicarakan”, memahami segala hal yang terjadi dalam pertemuan, mampu membuatnya lebih menarik dan menyenangkan sampai ke kondisi peserta pertemuan.

Jeda sesi pertama diakhiri ketika jarum jam menunjukkan pukul satu, dengan simulasi pengambilan keputusan dimana tempat makan siang bersama dilakukan, tentunya peserta tidak mau membahas lama-lama pesrsoalan ini dan langsung menuju ke warung makan.

Pukul 01:00 Hawa panas terasa menyengat di dalam ruangan kelas yang kami gunakan, sehingga angin yang masuk melalu kisi-kisi jendela terasa dingin dan menyegarkan. Beberapa peserta membincangkan materi sebelumnya dan saling tukar pendapat, sementara yang lainnya mencoba meramu esbatu dan sirup menjadi minuman pengusir rasa panas akibat matahari yang tepat berada diatas kami dan oksigen di dalam ruangan yang serasa mulai menipis.

Setelah istirahat sejenak, pertemuan kembali dilanjutkan dengan topik pembahasan mengenai ciri khas seorang fasilitator yang netral, berfikir outsider, tidak intimidatif sekaligus akomodatif, cakap membaca situasi atau konteks, komunikatif dan inovatif. Satu persatu ciri tersebut dibahas dengan contoh-contoh kejadian yang sering dialami ketika menghadapi sebuah forum.

Menjelang sore, simulasi kecil dilakukan di luar ruangan menggunakan metode analisa kasus dalam kelompok-kelompok kecil. Peserta dibagi menjadi dua kelompok, memecahkan sebuah permasalahan yang diberikan sebelumnya. Kertas plano menjadi alat simulasi dengan menuliskan peta permasalan dan jalan keluar yang dapat ditawarkan. Sesi ini menjadi lebih menarik karena dilakukan di atas padang rumput yang hijau, di sekitarnya banyak pohon rindang. Selain menyegarkan suasana yang beberapa jam sebelumnya berada di dalam ruangan kelas, beberapa peserta akhirnya dapat berbicara dan mengeluarkan opininya dengan lebih bebas. Mungkinkan ini juga merupakan sebuah metode yang bisa digunakan ketika pertemuan kolektif suasananya mulai berjalan monoton agar kebosanan peserta dapat dihindari.

Dari hasil evaluasi bersama tentang kekurangan-kekurangan simulasi pertemuan diperoleh gambaran bahwa dalam sebuah pertemuan, ice breaking adalah hal yang baiasanya dianggap sepele namun menentukan jalannya diskusi, ketika suasana pertemuan tidak cair maka suasana pertemuan akan tidak nyaman dan gagasan dari peserta akan susah untuk diutarakan, biasanya upaya menghindari kemonotonan dalam pertemuan bisa dipecahkan dengan humor segar dan canda tawa dalam perkenalan peserta. Dengan cara ini diharapkan pertemuan berjalan lebih komunikatif, tanpa didominasi oleh satu orang yang terus menerus bicara di forum, serta peserta yang pemalu,atau yang tak suka bicara untuk mau menyatakan pendapatnya.

Yang menarik dalam workshop kali ini adalah simulasi atau game mendapat porsi yang lebih, sehingga suasana lebih hidup dan peserta dapat lebih dapat saling berinteraksi satu sama lain. Akibatnya jadwal pertemuan yang semula berakhir pada pukul 18:00 dtambah dua jam. Fasilitator harus inovatif, menemukan cara terbaik untuk membantu jalannya pembicaraan, baik itu melalui video, games, modul ataupun hand-outs yang diberikan selama pertemuan.

Sesi terakhir membahas pentingnya menggunakan bahasa tubuh untuk menjaga perhatian peserta, agar mereka tidak bosan ataupun mengantuk. Posisi berdiri yang tidak terus menerus didepan peserta, memperhatikan saat pada partisipan yang sedang berbicara dengan anggukan kepala dan ataupun sorot mata yang langsung berhadapan dengannya. Hal ini dapat membantu partisipan diskusi agar terus memberikan penjelasan mengenai ide-ide yang sedang ia utarakan jika hal tersebut masih diperlukan dan dapat membantu solusi dari permasalahan yang sedang dibicarakan. Ketika sampai pada simulasi, semua peserta mendapat kesempatan untuk mempraktekkan cara-cara tersebut, menkreasikannya sebaik mungkin. Sesi ini berakhir dengan candaan akibat tema2 persoalan yang dipilih oleh peserta dan bahasa tubuh yang cenderung dilebih-lebihkan untuk mengundang gelak tawa.

Akhirnya workshop hari ini selesai, dengan terlebih dahulu merampungkan catatan-catatan, membersihkan ruangan dan mengumpulkan semua bahan yang tertempel di dinding dan papan tulis. Peserta meninggalkan tempat pertemuan, berjalan menuju tempat makan gorengan.