9.22.2010

Menggugat persatuan, Melangkah bersama

Menyambut hari tani nasional yang jatuh pada tanggal 24 September 2010


Soeharto akhirnya lengser, euphoria kemenangan merebak dimana-mana, tumbang sudah kekuasaan yang telah menanamkan kuku kekuasaannya selama lebih dari tigapuluh tahun. Namun apa lacur, krisis hebat yang melanda negeri ini baik secara politik maupun ekonomi tidak membawa perubahan apa-apa. Keruntuhan pemerintahan otoriter di tahun 1998 hanya berbuah manis bagi neoliberalisme.


Kudeta sistematis atas dasar teori penghapusan peran negara di bidang ekonomi dan perdagangan memaksanya menjatuhkan apa yang telah mereka bangun sendiri. Orde baru dinilai terlalu monopolistik, birokrat korupnya dianggap mengganggu kebebasan pasar dan sudah waktunya dilenyapkan. Reformasi menjadi era penuh kekerasan dalam usaha mendekatkan kapital dengan daerah jajahan. Melalui IMF dan World Bank, utang yang ditinggalkan Suharto yang digunakan untuk pembangunan ditagih. Layaknya seorang rentenir, jerat utang adalah senjata andalan neoliberal untuk menguasai dunia ketiga. Bisa ditebak, pemerintahan yang sedang kolaps tidak mungkin membayar, hal yang telah mereka perhitungkan dan rencanakan sebelumnya. Maka dipaksakanlah sejumlah penyesuaian aturan struktural, perubahan undang-undang, aturan hukum, dsb untuk melindungi kepentingan pengusaha dengan gol utama: memperlancar arus perdagangan.


Selamat datang kapitalisme lanjut, pasar bebas, demokrasi sampai jual beli hasrat. Sebuah dunia yang didasarkan pada eksploitasi kekuatan kerja manusia, uang, produksi komoditi dan perdagangan.


Diantara perubahan aturan tersebut, seperti pencabutan subsidi bagi seluruh jaringan sosial yang ada, termasuk pendidikan, kesehatan, bbm, listrik, perlahan-lahan didesuaikan demi kepentingan pemodal. Segala aturan yang mengekang perkembangan koorporasi dihapuskan, termasuk memperbaharuai aturan perburuhan sampai kita mengenal tenaga kerja kontrak dan out sourching. Dan tentu saja aturan-aturan di bidang pertanian.

Sampai saat ini peranan pertanian memang belum dapat tergantikan, walaupun revolusi industri telah berhasil mengubah sebagian besar lahan-lahan pertanian menjadi bangunan pabrik, jalan raya dan jembatan. Agrikultur yang menjadi rahim kelahiran kapitalisme masih sangat penting bahkan bagi kapitalisme tingkat lanjut. Seperti tidak mengenal Pergantian pemerintahan, sanjungan dan pujian senatiasa mengalir kepada bidang yang satu ini. Baik itu berasal dari pemerintahan otoritarian birokratik, populis, demokratik sampai yang tradisional. Tentu saja dengan tokoh utama: petani. Pada zaman kolonial, Indonesia terkenal dengan tanah yang luas dan subur dengan berbagai jenis tanaman, orang-orang eropa menarik simpati dengan menjuluki nusantara sebagai ‘surga rempah-rempah’. Pemerintahan sukarno dengan demokrasi terpimpinnya tidak mengabaikan begitu saja peranan petani baik dari segi politik maupun ekonomi. Disanjunglah petani sebagai salah satu ‘tulang punggung revolusi’. Orde baru mencitrakan suharto berasal dari keluarga petani, Indonesia diubahnya menjadi Negara agraris. Dan tentu saja petani sanjung setinggi langit sebagai motor ‘swasembada pangan’.

Cukupkah semua itu menggambarkan realitas yang ada? Tanpa statistik dan data-data tertulis ala LSM, cukup dengan memicingkan mata kita bias tahu semua itu mengada-ada. Petani tak bertanah tetap tidak bias lepas dari jerat tengkulak dan tradisi feudal, industrialisasi telah memaksa anak cucu mereka bergerak ke kota, dan sekali lagi mereka tidak beranjak dari garis miris!

Lepas dari rezim despotik yang merampas tanah secara sewenang-wenang kini petani dihadapkan pada serangan koorporasi yang ternyata lebih kejam. Atas nama stabilitas ekonomi dan peningkatan produksi, lahan-lahan pertanian yang pernah dikuasai pemerintahan sebelumnya tidak dikembalikan. Berulang kali kekerasan fisik, teror dan intimidasi kembali mereka alami. Beberapa kisah berhasil terdokumentasi diantara ratusan bahkan ribuan kasus lainnya. Dari deli serdang sumatera utara, kulon progo, sampai di kawasan timur Indonesia, Takalar-Sulawesi selatan. Mereka yang tidak kunjung berhenti menorehkan kisah perjuangan di tengah usaha merengkuh makna hidup itu sendiri.

Seperti luapan Lumpur Lapindo, tekanan neoliberalisme melalui kaki tangan otoritas tidak akan mampu membendung semangat para petani. Letupan-letupan akan senantiasa mencari celah untuk dilaluinya. Bukan tidak terprediksi sebelumnya, Indonesia mengenal perjuangan petani bahkan sebelum dimulainya pencarian daerah jajahan oleh bangsa eropa. Para petani tak bertanah bergulat dengan tuan tanah feodal. Ideologisasi memaksa mereka masuk kedalam serikat-serikat tani dan partai yang mengkampanyekan pengambil alihan paksa tanah tak bertuan untuk kemudian direbut kembali ketika berkuasa. Pada perjalanannya, pemerintah hanya mengizinkan petani hanya memasuki satu organisasi tani nasional yang kemudian disusul dengan berbagai program pertanian, salah satunya revolusi hijau. Perlawanan-perlawanan menemui jalan buntu, terjebak di dalam perjuangan masyarakat normal.

Namun tak seorangpun analiser pernah membayangkan memuncaknya level perjuangan petani justru berbarengan dengan terus berlanjutnya krisis kapitalisme. Meskipun belum sepenuhnya berkesadaran untuk meruntuhkan keseluruhan tatanan masyarakat yang eksis saat ini, sayup-sayup terdengar perlawanan mereka mulai beresonansi dengan irama dasyat penolakan penggusuran, pemogokan liar para buruh, serta guncangan hebat di salah satu pusat kapital, Yunani. Hal yang nyaris luput dari mata para pakar ‘revolusi’, kemunculan kultur insurgen setelah kehilangan tempat dalam masyarakat spectackle, energi yang begitu menantang, kreatif dan imajinatif. Bahkan mungkin sangat aneh bagi para professional kaum intelektual yang berusaha menempatkan kapitalisme secara lebih objektif. Gerakan mereka telah membuat retakan di panggung masyarakat tontonan yang selalu mendaur ulang perjuangan setelah sebelumnya menghancurkan konten di dalamanya.

Kekalahan demi kekalahan petani dimasa lalu telah memberikan beban berat bagi mereka yang masih meyakini perjuangan tetap berlanjut, membayangi seperti mimpi buruk. Kekerasan fisikal, moderasi LSM, taktik pecah belah dengan uang ganti rugi, kompromi dan perundingan, pembusukan oleh media, sampai krisis dari dalam diri mereka sendiri. Tapi tidak ada kata sia-sia dalam setiap usaha untuk meruntuhkan sistem yang berbasis pada alienasi dan pengkomodifikasian hasrat ini. Mereka belajar sekaligus mengajarkan bagaimana bangun dari keterpurukan. Bahu membahu mengorganisasikan komunitasnya secara independent dan otonom, mengambil keputusan bersama tanpa struktur yang mengikat, mempublikasikan secara nyata informasi perjuangan mereka, mempopulerkan aksi langsung, serta membangun solidaritas murni yang merupakan sebuah titik dimana setiap perjuangan melawan kapital dapat bertemu. Setidaknya jalan yang mereka tempuh telah membuka berbagai kemungkinan untuk dieksperimentasikan: bukan bersatu, tapi bersama!

Makassar-Sabtu, 18 september 2010


Selamat Hari Tani.

Panjang umur perjuangan antiotoritarian.

Panjang umur petani berlawan!!!